Akhir-akhir ini, berbagai media baik cetak maupun elektronik banyak dihiasi dengan pemberitaan mengenai korupsi. Terlebih kasus tersebut melibatkan para elit politik, anggota dewan, pejabat negara, dan pihak lainnya yang memiliki kedudukan tinggi di negeri ini. Maka tidak heran, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) tahun 2011 yang diluncurkan oleh Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat ke-100 dengan skor 3,0. Indonesia berada di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4).
Sungguh miris memang, di negeri yang menjunjung tinggi nilai kejujuran tapi korupsi tumbuh subur di mana-mana. Praktek korupsi dengan istilah ‘pelicin’ tampaknya sudah hal yang lumrah dan bahkan parahnya telah menjadi bagian dari budaya masyakat di negeri ini. Lebih menyedihkan lagi, dari berbagai kasus yang telah terungkap praktek korupsi banyak dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi pula intensitas dan nominal korupsi yang dilakukannya. Hal ini menunjukkan kegagalan pendidikan untuk menghasilkan manusia yang cerdas dan berkarakter.
Sudah saatnya pendidikan antikorupsi (PAK) mendapat perhatian yang serius agar kondisi memperihatinkan ini tidak terus berlanjut.
Sekolah memegang peranan penting dan strategis untuk mengimplementasikan PAK sebagai wujud peran sertanya dalam upaya pembarantasan korupsi. PAK akan lebih baik jika diterapkan sejak dini dan berkelanjutan, mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Sehingga karakter antikorupsi benar-benar tertanam dengan kokoh pada diri siswa. Pembentukan karakter ini akan sulit jika baru dimulai pada siswa yang beranjak dewasa karena karakter pada diri mereka cenderung sudah terbentuk. Seperti pepatah bilang “belajar di kala kecil seperti mengukir di atas batu, tapi belajar di kala dewasa seperti mengukir di atas air.”
Di sekolah, PAK dapat dilakukan melalui berbagai macam metode dan kegiatan. Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan sekolah. Pertama, sekolah mengintegrasikan materi-materi PAK pada mata pelajaran yang telah ada. Tidak hanya pada mata pelajaran yang mengajarkan norma saja seperti Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn) atau Pendidikan Agama, tapi pada mata pelajaran lainnya juga. Tidak perlu PAK menjadi mata pelajaran baru. Dikhawatirkan hal ini justru akan menambah beban bagi siswa. Padahal esensi dari PAK sendiri yaitu penanaman nilai bukan untuk dihafal apalagi diujikan.
Kedua, sekolah menggunakan media interaktif untuk mengajarkan konsep PAK. Melalui kegiatan yang menyenangkan, siswa akan lebih mudah paham. Salah satunya dengan games atau permainan seperti ular tangga. Permainan ini dapat dimodifikasi sesuai dengan konsep yang akan diajarkan. Contohnya tangga itu naik, jika rajin belajar maka naik kelas. Ular itu turun, kalau mencontek, nanti dihukum ibu guru. Itu semua dapat mengajarkan siswa untuk bersikap jujur di mana saja.
Ketiga, sekolah melakukan pembiasaan bagi siswa untuk menerapkan nilai-nilai PAK dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, sekolah mengadakan kantin kejujuran. Di kantin ini, tidak ada petugas ataupun kasir. Hanya ada kotak untuk menyimpan uang. Di sini, siswa dituntut untuk berperilaku jujur walaupun tidak ada yang mengawasi. Karena sudah terbiasa di sekolah, harapannya mereka pun akan tetap jujur di luar sekolah.
Keempat, sekolah menciptakan lingkungan bebas korupsi. Korupsi tidak melulu soal uang, tapi juga terkait dengan disiplin. Datang telat, membolos, mencontek, dan pelanggaran disiplin lainnya masih sering terjadi. Padahal pelanggaran itu merupakan benih-benih sikap korupsi. Agar benih-benih itu tidak tumbuh lebih jauh, disiplin harus ditegakkan dengan baik dan tegas. Dengan begitu, lingkungan sekolah yang bebas korupsi pun dapat terwujud.
Agar implementasi PAK ini efektif, dibutuhkan komitmen dan dukungan dari seluruh pihak, mulai dari guru, siswa, dan orang tua. Negara yang bebas korupsi tentu saja harapan kita bersama. Dengan PAK di sekolah, kita optimis akan lahir generasi antikorupsi yang tidak hanya lantang mengatakan ‘tidak’ pada korupsi tapi juga tertanam kokoh dalam dirinya.
(Dimuat di koran Pikiran Rakyat, Kamis 9 Februari 2012)