Rabu, 08 Februari 2012

Sekolah dan Pendidikan Antikorupsi

Akhir-akhir ini, berbagai media baik cetak maupun elektronik banyak dihiasi dengan pemberitaan mengenai korupsi. Terlebih kasus tersebut melibatkan para elit politik, anggota dewan, pejabat negara, dan pihak lainnya yang memiliki kedudukan tinggi di negeri ini. Maka tidak heran, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) tahun 2011 yang diluncurkan oleh Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat ke-100 dengan skor 3,0. Indonesia berada di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4). 

Sungguh miris memang, di negeri yang menjunjung tinggi nilai kejujuran tapi korupsi tumbuh subur di mana-mana. Praktek korupsi dengan istilah ‘pelicin’ tampaknya sudah hal yang lumrah dan bahkan parahnya telah menjadi bagian dari budaya masyakat di negeri ini. Lebih menyedihkan lagi, dari berbagai kasus yang telah terungkap praktek korupsi banyak dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi pula intensitas dan nominal korupsi yang dilakukannya. Hal ini menunjukkan kegagalan pendidikan untuk menghasilkan manusia yang cerdas dan berkarakter.

Sudah saatnya pendidikan antikorupsi (PAK) mendapat perhatian yang serius agar kondisi memperihatinkan ini tidak terus berlanjut. Sekolah memegang peranan penting dan strategis untuk mengimplementasikan PAK sebagai wujud peran sertanya dalam upaya pembarantasan korupsi. PAK akan lebih baik jika diterapkan sejak dini dan berkelanjutan, mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Sehingga karakter antikorupsi benar-benar tertanam dengan kokoh pada diri siswa. Pembentukan karakter ini akan sulit jika baru dimulai pada siswa yang beranjak dewasa karena karakter pada diri mereka cenderung sudah terbentuk. Seperti pepatah bilang “belajar di kala kecil seperti mengukir di atas batu, tapi belajar di kala dewasa seperti mengukir di atas air.” 

Di sekolah, PAK dapat dilakukan melalui berbagai macam metode dan kegiatan. Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan sekolah. Pertama, sekolah mengintegrasikan materi-materi PAK pada mata pelajaran yang telah ada. Tidak hanya pada mata pelajaran yang mengajarkan norma saja seperti Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn) atau Pendidikan Agama, tapi pada mata pelajaran lainnya juga. Tidak perlu PAK menjadi mata pelajaran baru. Dikhawatirkan hal ini justru akan menambah beban bagi siswa. Padahal esensi dari PAK sendiri yaitu penanaman nilai bukan untuk dihafal apalagi diujikan.

Kedua, sekolah menggunakan media interaktif untuk mengajarkan konsep PAK. Melalui kegiatan yang menyenangkan, siswa akan lebih mudah paham. Salah satunya dengan games atau permainan seperti ular tangga. Permainan ini dapat dimodifikasi sesuai dengan konsep yang akan diajarkan. Contohnya tangga itu naik, jika rajin belajar maka naik kelas. Ular itu turun, kalau mencontek, nanti dihukum ibu guru. Itu semua dapat mengajarkan siswa untuk bersikap jujur di mana saja.

Ketiga, sekolah melakukan pembiasaan bagi siswa untuk menerapkan nilai-nilai PAK dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, sekolah mengadakan kantin kejujuran. Di kantin ini, tidak ada petugas ataupun kasir. Hanya ada kotak untuk menyimpan uang. Di sini, siswa dituntut untuk berperilaku jujur walaupun tidak ada yang mengawasi. Karena sudah terbiasa di sekolah, harapannya mereka pun akan tetap jujur di luar sekolah. 

Keempat, sekolah menciptakan lingkungan bebas korupsi. Korupsi tidak melulu soal uang, tapi juga terkait dengan disiplin. Datang telat, membolos, mencontek, dan pelanggaran disiplin lainnya masih sering terjadi. Padahal pelanggaran itu merupakan benih-benih sikap korupsi. Agar benih-benih itu tidak tumbuh lebih jauh, disiplin harus ditegakkan dengan baik dan tegas. Dengan begitu, lingkungan sekolah yang bebas korupsi pun dapat terwujud.

Agar implementasi PAK ini efektif, dibutuhkan komitmen dan dukungan dari seluruh pihak, mulai dari guru, siswa, dan orang tua. Negara yang bebas korupsi tentu saja harapan kita bersama. Dengan PAK di sekolah, kita optimis akan lahir generasi antikorupsi yang tidak hanya lantang mengatakan ‘tidak’ pada korupsi tapi juga tertanam kokoh dalam dirinya.
(Dimuat di koran Pikiran Rakyat, Kamis 9 Februari 2012)

Selasa, 07 Februari 2012

Merencanakan Liburan Berkualitas bagi Anak

Liburan merupakan saat-saat yang paling ditunggu anak-anak selepas mereka menyelesaikan ujian di sekolah. Setelah sepekan bahkan lebih disibukkan mulai dari mengulang, mempersiapkan, dan akhirnya mengerjakan ujian, mereka sangat lelah dan membutuhkan penyegaran (refreshing) sebelum kembali bersekolah di semester yang baru. Diharapkan liburan yang diberikan bisa menjadi kesempatan untuk mereka melepas lelah dan penat agar lebih siap untuk kembali belajar.

Banyak jenis kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengisi masa liburan seperti berkunjung ke rumah saudara, datang ke berbagai macam tempat rekreasi, berkemah, outbound, dan masih banyak lagi kegiatan lainnya. Terlebih saat ini banyak event yang menyediakan paket kegiatan liburan alternatif untuk anak. Berbagai kegiatan liburan tersebut tidak hanya bertujuan supaya anak lebih rileks, tapi juga dapat dijadikan sebagai kesempatan untuk mereka lebih dekat dengan orang tua dan keluarga serta memberikan pengalaman-pengalaman pembelajaran yang tidak didapatkan di sekolah. 

Liburan menjadi saat yang tepat untuk mengganti waktu berkumpul keluarga yang di hari-hari biasa jarang bahkan sulit untuk dilakukan. Akhirnya, kebersamaan selama berlibur bisa menciptakan hubungan yang lebih erat antara anak dan orang tua. Selain itu, liburan bisa dijadikan sarana pembelajaran untuk anak dengan memberikan pengalaman yang bernilai edukasi. Misalnya, saat berkunjung ke rumah saudara, orang tua dapat mengajarkan tentang silsilah keluarga (family tree) yang tentu saja terkait juga dengan budaya lokal di dalamnya. Dalam budaya sunda sendiri yang sangat mengedepankan unsur keluarga, terdapat istilah silsilah keluarga sampai turunan ke tujuh yang saat ini sebagian besar anak tidak tahu; indung/ bapa, aki/nini, buyut, bao, jangawareng, udeg-udeg, dan kakait siwur. 

Aktivitas lain yang bisa dilakukan, misalnya dengan mengajak mereka ke sanggar-sanggar atau pementasan yang menampilkan kesenian tradisional. Disamping memiliki nilai edukasi, kegaiatan tersebut juga dapat membangun kesadaran pada anak akan pentingnya mempertahankan dan melestarikan kekayaan budaya lokal. Liburan akan memberikan manfaat yang optimal bagi anak jika liburan itu sendiri berkualitas. 

Agar liburan benar-benar berkualitas, perlu perencanaan yang baik untuk menyusun aktivitas apa saja yang akan dilakukan selama berlibur. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan orang tua dalam merencanakan liburan. Pertama, rencanakan liburan dengan melibatkan anak. Dengan begitu, anak akan lebih antusias saat berlibur karena tempat tujuan dan aktivitasnya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Mereka pun akan merasa lebih dihargai. 

Kedua, buat anak lebih tertarik. Orang tua bisa menceritakan dan menunjukkan hal-hal menarik dan unik dari tempat yang akan dikunjungi dengan memperlihatkan gambar, foto, atau video.

Ketiga, siapkan materi edukasi untuk anak. Supaya liburan tidak hanya berkunjung ke tempat wisata lalu pulang, orang tua harus bisa memberikan pengetahuan pada anak. Oleh karena itu, sebaiknya orang tua terlebih dahulu mencari informasi misalnya tentang sejarah atau legenda tempat wisata tersebut.

Sekarang, tergantung orang tua untuk menentukan liburan seperti apa yang diinginkan untuk anaknya. Apa pun pilihan aktivitas untuk mengisi liburan, orang tua harus merencanakannya dengan sebaik mungkin sehingga liburan tidak hanya menyenangkan dan berkesan tapi juga bermakna.

Senin, 06 Februari 2012

Education; A Political Commodity to Get Voters

Education is a really popular topic to discuss among people, including politicians. In fact, as the public election arrives, the educational issue comes up as a part of what many politicians from any party must talk about. They take the issue as a strategy to get voters as many as possible. Better and more accessible education is always stated as the program they offer. Nowadays, education turns to be a priority issue for political interest for several reasons. 

First of all, being a part of very basic need for people, education may be a well-known issue. Certainly, beside economic and health, all of people need education to get the betterment of life. The better their education can be, the better their opportunity to get employed. Therefore, this issue is really close to public. 

Next, education takes part significantly in considering someone’s social class. Going toward modern life, people see not only the nobility and the wealthy but also the level education to put someone to his particular social class. Those whose higher education may have brighter future and get an honor position in society. So, this significance of education puts it as an influential issue for politicians. 

In addition to the significance of education in terms of primary necessity and social status determination, previous politicians’ success in using the issue to win the election is another reason. Various studies examining the influence of public opinion towards education in the election shows that the issue is effective to persuade potential voters. For instance, as they suggested the program possibly enabling all people to get better education, many people were attracted and then decided to vote. This finding encourages recent politicians to do so. 

In conclusion, education is used as a political commodity by politicians to attract public in the election. This political interest emerges since they recognized education’s importance as a basic need, significance in determining social status, and effectiveness in prior elections. If this continues without any effort to implement the program in which education involved, in the following elections public will not be enthusiastic to the issue at all.

Bahasa Inggris dan Pembentukan Karakter Anak Sejak Dini

Globalisasi yang terus bergulir dalam berbagai aspek pada saat ini telah menempatkan kemampuan berbahasa asing terutama bahasa Inggris menjadi salah satu komponen kompetensi yang penting bagi siswa agar setelah lulus mereka memiliki daya saing dalam dunia kerja tidak hanya di tingkat nasional tapi juga di tingkat internasional. 

Maka tidak heran, beberapa tahun belakangan ini pembelajaran bahasa Inggris begitu masif dilakukan di semua tingkat satuan pendidikan, tidak terkecuali pendidikan pra-sekolah yang notabene siswanya dikategorikan sebagai anak usia dini. Banyak institusi pendidikan pra-sekolah, baik yang bertaraf internasional maupun lokal, yang menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran. 

Bahkan tidak hanya itu, bahasa Inggris juga digunakan oleh para siswa dan guru sebagai bahasa komunikasi sehari-hari di lingkungan sekolah. Pada perkembangannya, pengajaran bahasa Inggris sejak dini mendapatkan respon positif terutama dari para orang tua karena banyak hal positif yang anak-anak mereka bisa dapatkan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian para ahli di bidang pemerolehan bahasa (Language Acquisition) yang menyatakan bahwa kemampuan berbahasa asing pada anak akan berimplikasi positif terhadap pembentukan karakternya. 

Menurut Marcoz (1998) dalam tulisannya ‘Second Language Learning : Everyone can Benefit‘, paling tidak implikasi positif tersebut meliputi aspek kognitif (cognitive), kepribadian (personality), dan Sosial (Societal). Pertama, pada aspek kognitif. Dengan menguasai bahasa asing, anak cenderung lebih kreatif dan mampu berpikir kompleks sehingga mereka dapat memecahkan permasalahan yang rumit. Selain itu, kemampuan berbahasa mereka yang makin terasah akan meningkatkan potensi kemampuan otak kiri. Tentu saja, kemampuan lainnya yang berada di otak kiri, seperti matematik dan rasional, akan ikut meningkat. Dengan kata lain, kemampuan anak berbahasa asing memberikan pengaruh positif pada pelajaran lainnya. 

Kedua, pada aspek kepribadian. Anak yang mampu berbahasa asing memiliki rasa percaya diri yang tinggi karena mereka lebih berani untuk mengekspresikan dirinya. Disamping rasa percaya diri, melalui pengajaran bahasa asing yang mencakup berbagai topik di dalamnnya, rasa ingin tahu mereka terbentuk dan mereka akan lebih termotivasi untuk mempelajari hal-hal yang baru. Rasa percaya diri dan motivasi belajar menjadi hal yang lebih menonjol pada mereka dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki kemampuan bahasa asing. 

Ketiga, aspek sosial. Anak yang terbiasa dengan bahasa asing akan lebih terbuka dengan perbedaan dan memiliki kesempatan lebih banyak untuk berkomunikasi khususnya dengan orang asing. Oleh karena itu, mereka akan mudah untuk bersosialisasi terlebih dengan perkembangan teknologi komunikasi dan jejaring sosial yang makin pesat anak dapat membuat pertemanan mereka lebih luas. 

Sadar akan manfaat dan urgensi kemampuan bahasa asing bagi pembentukan karakter anak, sudah sepatutnya upaya untuk mengajarkan bahasa Inggris sejak dini mendapatkan apresiasi dan dukungan dari berbagai pihak agar kualitasnya terus meningkat. Kita berharap pengajaran bahasa Inggris sejak dini menjadi investasi bersama sebagai bentuk kontribusi untuk mencetak manusia-manusia Indonesia yang berdayasaing global di masa yang akan datang.

Menilik Problematika Guru Indonesia

Tahun telah berganti, penuh suka cita dan optimisme menghadapi tahun baru berharap kondisi negeri ini bisa lebih baik dari tahun sebelumnya termasuk dalam hal pendidikan. Sayangnya akhir tahun ini ditutup dengan kabar kurang menyenangkan dengan dirilisnya hasil survei Indeks Pembangunan Manusia (IPM) oleh UNDP di tahun 2011 yang menempatkan Indonesia di posisi 124 dari 187 negara di dunia, masih jauh di bawah negara-negara tetangga. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas pendidikan Indonesia, sebagai salah satu parameternya, masih rendah. Pergantian tahun harus menjadi momentum untuk berbenah diri agar berbagai masalah pendidikan yang terjadi di tahun sebelumnya dapat diperbaiki dan tidak terulang kembali. Benang kusut yang sulit terurai mungkin menjadi gambaran yang tepat untuk menunjukkan kompleksitas permasalahan pendidikan di Indonesia. Dari tingkat pusat sampai tingkat daerah permasalahan kerap terjadi. 

Permasalahan guru merupakan salah satu dari sekian banyak masalah pendidikan yang harus mendapatkan perhatian besar. Guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Terkait hal ini, WF Connell (1972) menjelaskan peran seorang guru yaitu sebagai (1) pendidik, (2) model, (3) pengajar, dan (4) pembimbing. Oleh karena itu, tidak heran jika guru menjadi faktor penentu keberhasilan siswa. Bahkan pemerintah melalui UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mensejajarkan guru dengan bidang profesional lainnya seperti dokter, pengacara, dan akuntan yang diharuskan memiliki sertifikat profesi. Untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru, pemerintah pun menggulirkan program sertifikasi dan Pendidikan Profesi Guru (PPG).

Upaya tersebut ternyata tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan seputar guru. Paling tidak masalah-masalah itu meliputi; kualifikasi dan kompetensi guru, etos kerja, pemerataan distribusi guru, kesejahteraan, dan pengembangan diri. Pertama, kualifikasi dan kompetensi guru masih rendah. Berdasarkan UU, guru harus memiliki kualifikasi minimal D4/S1 dan memiliki kompetensi profesional (keilmuan), kepribadian, pedagogik (pendidik), dan sosial. Akan tetapi berdasarkan data dari Kemendikbud, hampir 50 persen (1, 8 juta) guru belum bergelar sarjana. Selain itu, banyak guru mengajar mata pelajaran yang tidak relevan dengan latar belakang pendidikannya. Terlebih setelah diberlakukannya kebijakan sertifikasi yang mengharuskan guru untuk mengajar sebanyak 24 jam perminggu. Guru akan mengajar apa saja untuk memenuhinya. Maka tidak heran jika ada guru bahasa Indonesia mengajar bahasa Inggris, guru geografi mengajar sejarah, bahkan guru olah raga mengajar agama. Sederetan kasus guru yang melakukan kekerasan, tindak asusila, menipu dan tindakan tidak terpuji lainnya menambah catatan buruk yang membuat guru makin jauh dari kata profesional. 

Kedua, etos kerja guru masih jauh dari harapan. Mitchel,T.R dan Larson (1987:343)menjelaskan bahwa indikator-indikator atau ukuran-ukuran kinerja guru meliputi : (1) kemampuan, (2) prakarsa/inisiatif, (3) ketepatan waktu, (4) kualitas hasil kerja, dan (5) komunikasi. Sayangnya masih banyak guru yang tidak tepat waktu, mengajar seenaknya tanpa persiapan, tidak objektif dalam penilaian, dan tidak berusaha untuk memperbaharui pengetahuan dan pengajarannya. Tentu saja hal ini akan berimplikasi pada rendahnya pencapaian siswa. 

Ketiga, penempatan guru tidak merata. Rasio guru dan siswa secara nasional di jenjang TK hingga SMA/SMK saat ini masih ideal, yakni 1:15-23, sedangkan rasio maksimal 1:15-32. Di atas kertas seharusnya tidak ada kekurangan guru. Tapi kenyatannya, di pedesaan dan daerah terpencil jumlah guru masih sangat kurang, sebaliknya di perkotaan terjadi kelebihan guru. 

Keempat, rendahnya kesejahteraan guru. Dengan adanya program sertifikasi, guru diharapkan dapat sejahtera. Sayangnya program ini baru bisa dinikmati sejumlah kecil guru saja. Sebagian besar dari mereka masih tergolong kekurangan, apalagi yang statusnya guru honorer. Gaji mereka yang berkisar Rp 50.000-Rp 500.000 masih jauh dari layak untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk menambah penghasilan, banyak guru yang berprofesi ganda. 

Kelima, pengembangan diri yang masih minim. Seiring waktu berjalan, ilmu pengetahuan dan pendidikan pun terus berkembang. Guru seharusnya terus meng-update keilmuannya dan pengajarannya agar tidak tertinggal. Mustahil untuk bisa menghasilkan siswa yang berkualitas dan mampu menjawab tantangan zaman jika tidak dimulai dari gurunya. Lagi-lagi kenyataan berbicara lain. Guru kesulitan mendapatkan akses untuk mengembangkan diri karena selain fasilitas yang masih minim atau bahkan tidak ada, mereka pun terkandala masalah finansial. Jangankan untuk membeli buku atau mengikuti seminar dan pelatihan, untuk makan pun masih sulit. 

Perlu solusi yang tepat dan komprehensif untuk menyelesaikan permasalahan itu. Pihak legislatif, eksekutif (pemerintah), dan guru harus bekerjasama secara sinergis. Produk kebijakan yang dihasilkan legislatif dan program yang digulirkan pemerintah harus benar-benar berpihak dan berorientasi pada peningkatan kualitas guru, bukan sekedar jadi komoditas politik dan hanya menguntungkan pihak tertentu. Guru pun harus banyak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program. Jika semua hal tersebut dapat dilakukan, bukan tidak mungkin guru makin profesional dan kualitasnya jauh lebih baik dari tahun sebelumnya. 
(Dimuat di Koran Pikiran Rakyat (PR), 5 Januari 2011 dengan judul 'Menilik Permasalahan Guru di Indonesia')