Rabu, 04 April 2012

Berharap Pemimpin Bukan Penguasa


Genta demokrasi mulai berdetup kembali di seantero negeri kita. Hal ini ditandai dengan riuh ramainya pemilihan pemimpin baik di tingkat daerah maupun tingkat pusat, setelah dua dinasti-rezim-memasung demokrasi dari hakikatnya.
Dinasti Orde Lama yang dirajai Sang Proklamator, Soekarno, elemen bangsa menjadi korban keegoisan suatu dinasti yang terobsesi untuk bersikap revolusioner dan anti-kapitalisme berlebihan. Terlebih setelah ‘Sang Raja’ mendeklarasikan dirinya sebagai presiden seumur hidup, seolah demokrasi hanya sekumpulan huruf tak bermakna. Ekses negatifnya ialah kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi tidak tenang, perekonomian ambruk, kehidupan bermasyarakat semerawut, masyarakat terbius masuk dalam pertikaian politik tanpa henti.
Jatuhnya dinasti Orde Lama yang ditandai bangkitnya dinasti Orde Baru, tetap bukan tanpa cela. Pada masa dinasti militeristik ini yang dikomandoi Soeharto, rakyat kembali menjadi korban keganasan sebuah rezim yang keliru dalam merenungi hakikat demokrasi. Mereka dipaksa untuk menikmati ketenangan hidup dalam gerbong demokrasi yang semu. Ketenangan hidup yang dibarengi dengan berbagai penyunatan berbagai macam hak asasi manusia, tak terkecuali hak berdemokrasi.
Tampaknya para pemimpin besar bangsa ini bersikap apatis terhadap hakikat kepemimpinan yang mereka emban. Ruh raja-raja Jawa yang monokratis masih bersemayam kuat dalam diri mereka. Tak elak, Reformasi menjadi sebuah harapan luhur atas kebangkitan demokrasi yang bisa melahirkan para pemimpin sejati. Sayangnya harapan itu tercedrai karena ulah ‘penguasa’ tak bernurani. Alih-alih ingin melahirkan pemimpin sejati, kepemimpinan negeri yang silih berganti hanya menambah borok-borok masa lalu dengan penyakit yang lebih akut. Mengobati korupsi dengan korupsi baru, menambal nepotisme dengan nepotisme baru, kolusi, dan lip service untuk menipu rakyat semakin menjadi-jadi.

Pemimpin dan Penguasa

Ada dua term yang berdekatan yang bisa mempengaruhi mereka adalah kepemimpinan dan kepenguasaan. Tentu saja kedua hal tersebut sangat bertolak belakang satu sama lain. Agar tidak terporosok kembali kedalam lubang hitam yang sama, maka kepada calon atau kandidat pemegang titah amanah rakyat harus ditanyakan akan komitmen mereka: “Mau jadi pemimpin atau penguasa?

Pemimpin

            Banyak orang yang menyamakan pemimpin dengan penguasa, padahal diantara keduanya terdapat distingsi yang jelas bersebrangan. Akan tetapi hal ini sangat wajar karena hal itu mungkin bentuk kekecewaan terhadap pemegang amanah rakyat yang bertopeng pemimpin untuk memenuhi hasrat kekuasaan mereka. Sebenarnya sikap apatis dan pesimis bukan jawaban atas permasalahan ini. Oleh karena itu kita harus mengembalikan hakikat kepemimpinan sejati di negeri kita ini.
            Rm. Kanis (2004) mengatakan “Legitimasi seorang pemimpin adalah legitimasi moral”. Artinya, ia dinobatkan oleh masyarakat karena kontribusi dan perjuangan moralnya. Ia memiliki dan menghayati ide, visi, pemerdekaan bangsa agar bebas dari ketakutan dan tampil percaya diri menuruti nurani untuk mengatakan yang benar adalah benar. Itulah yang membuat ia menjadi pemimpin sebagai panutan dalam kata dan tindakan yang penuh keteladanan, tidak lebur diserbu kolusi, tidak bergeming untuk berdusta atas nama perjuangan harga diri dan pelacuran martabat pribadi.
            Disamping itu, “Legitimasi seorang pemimpin adalah legitimasi rohani”. Pemimpin sejati adalah warisan keteguhan dan kesabaran mendidik bangsa serta pengorbanan tanpa pamrih yang diwujudkan dalam kesahajaan, kekayaan waktu, tenaga, pikiran, dan keringat yang dengan jelas dicurahkan untuk rakyatnya. Ketulusan yang selalu ditebarkan dalam perjuangannya menjadikan ia dan makna hidupnya sebagai narasumber.
            Dengan seluruh sifat luhur yang dimiliki tersebut, maka pengakuan tulus berjuta-juta rakyatpun akan didapatkan. Oleh karena itu bisa dikatakan, “Legitimasi seorang pemimpin adalah legitimasi populis”. Legitimas seorang pemimpin berasal dari ketulusan penerimaan rakyat banyak yang dengan bahasa pathos (passion) menerimanya sebagai pemimpin bangsa. Bukan dengan rayuan uang, sembako, pengobatan, hiburan gratis atau upaya bukan tanpa pamrih lainnya yang disajikan untuk meraup simpati rakyat.
            Ulasan di atas merupakan hakikat pemimpin sejati yang harus termanifestasikan pada seorang pemegang amanah rakyat di negeri kita. Legitimasi seorang pemimpin adalah legitimasi moral, rohani, dan populis sejatinya dihayati dengan sangat dalam dan mampu direalisasikan untuk membawa gerbong demokrasi yang dimotori prinsip keadilan menuju rakyat sejahtera.

Penguasa

            “Penguasa” sungguh berada di sisi lain dari “pemimpin”. Pengertian penguasa hampir seutuhnya kebalikan dari hakikat pemimpin sejati seperti apa yang telah diulas di atas. Terdapat beberapa hal fundamental yang tertanam pada kepenguasaan, seperti; segala keputusan tergantung pada sang penguasa, rakyat selalu tunduk di hadapannya, dan suara rakyat hampir tak pernah dihiraukan. Intinya, kreativitas rakyat telah sengaja dipasung. Ia akan berusaha untuk mempertahankan kekuasannya dan memperluas hegemoni akan kekuasaan dirinya, maka tak heran akan banyak pihak yang menjadi korban.
            Hal tentang penguasa ini diulas pula oleh Niccolo Machiavellu (filsuf Italia, 1469-1527) dalam bukunya “The Prince”. Ia mengatakan bahwa tujuan seorang pangeran-penguasa-adalah untuk memperoleh kejayaan dan mempertahankan kedudukannya. Dengan begitu, tidak selalu rasional untuk menjadi bermoral; melaksanakan apa yang dinyatakan oleh banyak orang sebagai benar hanya akan menyebabkan kehancuran, dan ia pun akan selalu berusaha tampak baik mesikipun berindak jahat.
            Sifat penguasa itu tergambarkan secara lucu dalam anekdot yang disampaikan oleh mantan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (2003). Alkisah ada seorang Perdana Menteri (PM) dari negara tetangga bersama tukang cukurnya. PM tersebut setiap tiga minggu sekali memotong rambutnya. Ketika sang PM akan dipangkas rambutnya, tukang cukurnya itu selalu mengawali perbincangan:
“Kapan yang mulia mau turun dari PM?”
“Masih tiga tahun lagi,” jawab PM.
            Setelah mendengar jawaban itu, tukang cukur mulai memangkas rambut sang PM. Tiga minggu kemudian, sang PM datang lagi. Si tukang cukur itu kembali bertanya tentang kemunuduran yang mulia dari PM dengan pertanyaan yang sama. Ia memperoleh jawaban yang sama dari sang PM. Tiga minggu berikutnya, terjadi hal yang sama. Akhirnya sang PM emosi.
“Kenapa kamu bertanya hal yang sama? Apa kamu memang senang kalau saya lengser ya?” Kata sang PM.
“Yang mulia, saya tidak tahu menau tentang politik. Ini hanya kepentingan mencukur saja. Sebab, ketika saya tanyakan hal itu, rambut yang mulia langsung berdiri dan memudahkan saya mencukur rambut yang mulia,” jawab tukang cukur lugu.
       Dengan pendeskripsian perbedaan hakikat pemimpin dan penguasa, semoga kita menjadi lebih selektif dalam mendelegasikan tambuk amanah kepemimpinan pemerintahan. Dengan hal itu kita jangan sampai mengulangi mimpi buruk yang telah terjadi di masa lampau, bahkan lebih buruk. Sebuah negeri dengan steady state (masyarakat adil, makmur, tenang, tentram, dan sejahtera) bukanlah mimpi, namun merupakan sesuatu yang telah ada dihadapan mata. Asalkan ada upaya maksimal untuk mewujudkannya dengan dinahkodai seorang ’pemimpin’ bukan oleh seorang ‘penguasa’. Kita sebagai generasi agen perubahan harus selalu berada di garis depan untuk selalu memperjuangkannya.