Genta demokrasi mulai berdetup kembali di seantero negeri kita. Hal ini
ditandai dengan riuh ramainya pemilihan pemimpin baik di tingkat daerah maupun
tingkat pusat, setelah dua dinasti-rezim-memasung demokrasi dari hakikatnya.
Dinasti Orde Lama yang dirajai Sang Proklamator, Soekarno, elemen
bangsa menjadi korban keegoisan suatu dinasti yang terobsesi untuk bersikap
revolusioner dan anti-kapitalisme berlebihan. Terlebih setelah ‘Sang Raja’
mendeklarasikan dirinya sebagai presiden seumur hidup, seolah demokrasi hanya
sekumpulan huruf tak bermakna. Ekses negatifnya ialah kehidupan berbangsa dan
bernegara menjadi tidak tenang, perekonomian ambruk, kehidupan bermasyarakat semerawut,
masyarakat terbius masuk dalam pertikaian politik tanpa henti.
Jatuhnya dinasti Orde Lama yang ditandai bangkitnya dinasti Orde Baru,
tetap bukan tanpa cela. Pada masa dinasti militeristik ini yang dikomandoi
Soeharto, rakyat kembali menjadi korban keganasan sebuah rezim yang keliru
dalam merenungi hakikat demokrasi. Mereka dipaksa untuk menikmati ketenangan
hidup dalam gerbong demokrasi yang semu. Ketenangan hidup yang dibarengi dengan
berbagai penyunatan berbagai macam hak asasi manusia, tak terkecuali hak
berdemokrasi.
Tampaknya para pemimpin besar bangsa ini bersikap apatis terhadap
hakikat kepemimpinan yang mereka emban. Ruh raja-raja Jawa yang monokratis
masih bersemayam kuat dalam diri mereka. Tak elak, Reformasi menjadi
sebuah harapan luhur atas kebangkitan demokrasi yang bisa melahirkan para
pemimpin sejati. Sayangnya harapan itu tercedrai karena ulah ‘penguasa’ tak
bernurani. Alih-alih ingin melahirkan pemimpin sejati, kepemimpinan negeri yang
silih berganti hanya menambah borok-borok masa lalu dengan penyakit yang lebih akut.
Mengobati korupsi dengan korupsi baru, menambal nepotisme dengan nepotisme
baru, kolusi, dan lip service untuk menipu rakyat semakin menjadi-jadi.
Pemimpin dan
Penguasa
Ada dua term yang berdekatan yang bisa mempengaruhi mereka adalah
kepemimpinan dan kepenguasaan. Tentu saja kedua hal tersebut sangat bertolak
belakang satu sama lain. Agar tidak terporosok kembali kedalam lubang hitam
yang sama, maka kepada calon atau kandidat pemegang titah amanah rakyat harus
ditanyakan akan komitmen mereka: “Mau jadi pemimpin atau penguasa?”
Pemimpin
Banyak orang yang menyamakan
pemimpin dengan penguasa, padahal diantara keduanya terdapat distingsi yang
jelas bersebrangan. Akan tetapi hal ini sangat wajar karena hal itu mungkin
bentuk kekecewaan terhadap pemegang amanah rakyat yang bertopeng pemimpin untuk
memenuhi hasrat kekuasaan mereka. Sebenarnya sikap apatis dan pesimis bukan
jawaban atas permasalahan ini. Oleh karena itu kita harus mengembalikan hakikat
kepemimpinan sejati di negeri kita ini.
Rm. Kanis (2004) mengatakan
“Legitimasi seorang pemimpin adalah legitimasi moral”. Artinya, ia dinobatkan
oleh masyarakat karena kontribusi dan perjuangan moralnya. Ia memiliki dan
menghayati ide, visi, pemerdekaan bangsa agar bebas dari ketakutan dan tampil
percaya diri menuruti nurani untuk mengatakan yang benar adalah benar. Itulah
yang membuat ia menjadi pemimpin sebagai panutan dalam kata dan tindakan yang
penuh keteladanan, tidak lebur diserbu kolusi, tidak bergeming untuk berdusta
atas nama perjuangan harga diri dan pelacuran martabat pribadi.
Disamping itu, “Legitimasi seorang
pemimpin adalah legitimasi rohani”. Pemimpin sejati adalah warisan keteguhan
dan kesabaran mendidik bangsa serta pengorbanan tanpa pamrih yang diwujudkan
dalam kesahajaan, kekayaan waktu, tenaga, pikiran, dan keringat yang dengan
jelas dicurahkan untuk rakyatnya. Ketulusan yang selalu ditebarkan dalam
perjuangannya menjadikan ia dan makna hidupnya sebagai narasumber.
Dengan seluruh sifat luhur yang
dimiliki tersebut, maka pengakuan tulus berjuta-juta rakyatpun akan didapatkan.
Oleh karena itu bisa dikatakan, “Legitimasi seorang pemimpin adalah legitimasi
populis”. Legitimas seorang pemimpin berasal dari ketulusan penerimaan rakyat
banyak yang dengan bahasa pathos (passion) menerimanya sebagai
pemimpin bangsa. Bukan dengan rayuan uang, sembako, pengobatan, hiburan gratis
atau upaya bukan tanpa pamrih lainnya yang disajikan untuk meraup simpati
rakyat.
Ulasan di atas merupakan hakikat
pemimpin sejati yang harus termanifestasikan pada seorang pemegang amanah
rakyat di negeri kita. Legitimasi seorang pemimpin adalah legitimasi moral,
rohani, dan populis sejatinya dihayati dengan sangat dalam dan mampu
direalisasikan untuk membawa gerbong demokrasi yang dimotori prinsip keadilan
menuju rakyat sejahtera.
Penguasa
“Penguasa” sungguh berada di sisi
lain dari “pemimpin”. Pengertian penguasa hampir seutuhnya kebalikan dari
hakikat pemimpin sejati seperti apa yang telah diulas di atas. Terdapat
beberapa hal fundamental yang tertanam pada kepenguasaan, seperti; segala
keputusan tergantung pada sang penguasa, rakyat selalu tunduk di hadapannya,
dan suara rakyat hampir tak pernah dihiraukan. Intinya, kreativitas rakyat
telah sengaja dipasung. Ia akan berusaha untuk mempertahankan kekuasannya dan
memperluas hegemoni akan kekuasaan dirinya, maka tak heran akan banyak pihak
yang menjadi korban.
Hal tentang penguasa ini diulas pula
oleh Niccolo Machiavellu (filsuf Italia, 1469-1527) dalam bukunya “The Prince”.
Ia mengatakan bahwa tujuan seorang pangeran-penguasa-adalah untuk memperoleh
kejayaan dan mempertahankan kedudukannya. Dengan begitu, tidak selalu rasional
untuk menjadi bermoral; melaksanakan apa yang dinyatakan oleh banyak orang
sebagai benar hanya akan menyebabkan kehancuran, dan ia pun akan selalu
berusaha tampak baik mesikipun berindak jahat.
Sifat penguasa itu tergambarkan
secara lucu dalam anekdot yang disampaikan oleh mantan Presiden K.H.
Abdurrahman Wahid (2003). Alkisah ada seorang Perdana Menteri (PM) dari negara
tetangga bersama tukang cukurnya. PM tersebut setiap tiga minggu sekali
memotong rambutnya. Ketika sang PM akan dipangkas rambutnya, tukang cukurnya
itu selalu mengawali perbincangan:
“Kapan yang
mulia mau turun dari PM?”
“Masih tiga
tahun lagi,” jawab PM.
Setelah mendengar jawaban itu,
tukang cukur mulai memangkas rambut sang PM. Tiga minggu kemudian, sang PM
datang lagi. Si tukang cukur itu kembali bertanya tentang kemunuduran yang
mulia dari PM dengan pertanyaan yang sama. Ia memperoleh jawaban yang sama dari
sang PM. Tiga minggu berikutnya, terjadi hal yang sama. Akhirnya sang PM emosi.
“Kenapa kamu
bertanya hal yang sama? Apa kamu memang senang kalau saya lengser ya?” Kata
sang PM.
“Yang mulia,
saya tidak tahu menau tentang politik. Ini hanya kepentingan mencukur saja.
Sebab, ketika saya tanyakan hal itu, rambut yang mulia langsung berdiri dan
memudahkan saya mencukur rambut yang mulia,” jawab tukang cukur lugu.
Dengan
pendeskripsian perbedaan hakikat pemimpin dan penguasa, semoga kita menjadi
lebih selektif dalam mendelegasikan tambuk amanah kepemimpinan pemerintahan.
Dengan hal itu kita jangan sampai mengulangi mimpi buruk yang telah terjadi di
masa lampau, bahkan lebih buruk. Sebuah negeri dengan steady state
(masyarakat adil, makmur, tenang, tentram, dan sejahtera) bukanlah mimpi, namun
merupakan sesuatu yang telah ada dihadapan mata. Asalkan ada upaya maksimal
untuk mewujudkannya dengan dinahkodai seorang ’pemimpin’ bukan oleh seorang
‘penguasa’. Kita sebagai generasi agen perubahan harus selalu berada di garis
depan untuk selalu memperjuangkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar