Belakangan ini, isu
plagiarisme tengah menyita perhatian banyak kalangan. Terlebih setelah
pemberitaan terkait isu ini yang menimpa salah satu PTN sering muncul di media
massa. Sontak, berita tersebut ditanggapi beragam oleh masyarakat. Mulai dari
sekedar mengungkapan keperihatinan sampai memberikan kecaman keras. Respon
masyarakat yang sebagian besar berupa kritik wajar terjadi. Hal ini dikarenakan
dalam dunia akademis, plagiarisme dikategorikan sebagai kejahatan akademik. Tapi,
sikap objektivitas dan kritis harus tetap dikedepankan dalam menanggapinya.
Plagiarisme selalu
dipersepsikan sebagai tindakan penjiplakan yang fatal. Paling tidak sebagian
besar masyarakat kita berkeyakinan seperti itu. Maka, bagi sang pelaku harus
diberikan sanksi yang tegas dan berat. Misalnya, penurunan pangkat, pencabutan
gelar, bahkan pemecatan. Keyakinan tersebut tidak salah, tapi tidak sepenuhnya
benar.
Definisi plagiarisme
telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Salah satunya Neville (2010) dalam ‘The Complete Guide to Referencing and
Avoiding Plagiarism’ mendefinisikan plagiarisme sebagai tindakan mengambil
ide atau tulisan orang lain tanpa menyebutkan rujukan dan diklaim sebagai
miliknya. Oleh karena itu, penulisan kutipan dan sumber menjadi indikator utama
untuk menentukan seseorang plagiat atau tidak.
Pada praktiknya,
plagiarisme dibedakan menjadi beberapa kategori. Menurut Sastroasmoro (2007),
kategori tersebut didasarkan pada hal-hal berikut. Pertama, berdasarkan aspek
yang dijiplak. Plagiarisme jenis ini dibagi menjadi empat kategori, yaitu;
plagiarisme ide, plagiarisme isi, plagiarisme tulisan, dan plagiarisme total. Dari
keempat kategori ini, kategori terakhirlah yang dianggap paling berat. Tidak
ada sama sekali ide atau gagasan orisinil di dalamnya. Ironisnya, saat ini
masih banyak yang melakukan. Cukup dengan membayar sejumlah uang, penyedia jasa
akan siap melayani ‘pesanan’.
Kedua, berdasarkan
proporsi yang dijiplak. Plagiarisme jenis ini dibedakan menjadi 3 kategori,
yaitu; plagiarisme ringan (<30%), plagiarisme sedang (30%-70%), dan plagiarisme
berat (>70%). Ada anggapan, jumlah kutipan menjadi penentu baik tidaknya
sebuah karya ilmiah. Semakin banyak kutipan, maka semakin baik. Padahal, jika
jumlahnya tidak wajar bisa dianggap plagiat. Idealnya, proporsi ide atau
gagasan penulis harus lebih dominan.
Ketiga, berdasarkan
pola plagiarisme. Plagiarisme jenis ini dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu;
plagiarisme word for word (kata demi
kata) dan plagiarisme mosaik (menggabungkan ide orisinil dengan ide orang
lain). Yang paling sering kali dilakukan yaitu plagiarisme mosaik. Biasanya,
plagiarisme ini dilakukan dengan menyelipkan atau menggabungkan tulisan orang
lain menjadi tulisan yang baru. Penulis pun tidak menyebutkan sumbernya
sehingga seolah-olah tulisan itu miliknya.
Keempat, berdasarkan
kesengajaan. Plagiarisme jenis ini diklasifikasikan menjadi 2 kategori, yaitu;
plagiarisme yang disengaja dan plagiarisme yang tidak disengaja. Kategori kedua
kerap kali terjadi dan menyebabkan seseorang dianggap plagiat. Misalkan, penulis
lupa menuliskan sumber pada daftar pustaka. Padahal di bagian isi,
pengutipannya sudah benar. Walaupun terkesan remeh temeh, kelalaian ini bisa berakibat fatal. Hal ini pula yang
terjadi pada salah satu dosen yang saat ini santer diberitakan karena
diindikasikan plagiat (Pikiran Rakyat, 8/3/2012)
Kategorisasi ini
menegaskan bahwa setiap kasus plagiarisme tidak bisa disakompetdaunkeun. Tentu saja, sanksinya pun akan berbeda
tergantung dari kategori plagiarisme yang dilakukannya. Dalam prinsip keadilan,
tidak benar jika pelanggaran ringan dan pelanggaran berat diberikan sanksi yang
sama. Apalagi, jika pelanggaran itu lebih karena faktor kelalaian bukan
kesengajaan. Perlakuannya pun akan jauh berbeda. Diharapkan melalui pemahaman
ini, kita bisa lebih objektif dan kritis dalam menyikapi setiap kasus
plagiarisme.
(Tulisan ini dimuat dalah harian Pikiran Rakyat 'PR', Sabtu 10 Maret 2012 dengan judul 'Mengenal Jenis-Jenis Plagiarisme')