Selasa, 11 September 2012

Menyoal Desentralisasi Pendidikan


Dengan lahirnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti  UU nomor 22 tahun 1999 telah menandai era baru pendidikan di Indonesia. Kebijakan tersebut mengubah manajemen pendidikan dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Dengan perubahan ini, pemerintah daerah memiliki wewenang yang luas untuk mengembangkan pendidikan di wilayahnya. Kebijakan ini bertujuan agar masyarakat mendapatkan layanan pendidikan yang lebih baik.
Desentralisasi pendidikan telah membawa angin segar dan harapan bagi masyarakat. Banyak yang berkeyakinan desentralisasi pendidikan akan berdampak pada kemajuan pendidikan. Dampak positif yang dapat diperoleh dari desentralisasi pendidikan antara lain efisiensi biaya, efisiensi birokrasi, pemerataan pendidikan, dan peningkatan partisipasi masyarakat. Hal ini menjadi alasan mengapa pemerintah menerapkan desentralisasi pendidikan.
Namun, kenyataannya penerapan desentralisasi pendidikan justru menimbulkan berbagai masalah. Paling tidak ada empat masalah yang paling mendasar yaitu terkait peraturan, persepsi, birokrasi, dan koordinasi (Rasyo, 2005).
Pertama, berbagai peraturan mengenai desentralisasi pendidikan masih belum baik. Masih banyak hal yang belum tercakup dalam aturan-aturan tersebut. Salah satunya terkait dengan partisipasi masyarakat dalam pendidikan.  Ketidakjelasan regulasi yang mengatur hal ini menjadi celah. Banyak oknum yang memanfaatkannya untuk melakukan privatisasi pendidikan. Tentu saja tujuannya untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Konsep partisipasi masyarakat dipahami serampangan. Bagi mereka, biaya penyelenggaraan pendidikan menjadi beban masyarakat.  Jika peraturannya saja seperti ini, sudah dapat dipastikan pelaksanaan desentralisasi pendidikan tidak akan berhasil.    
Kedua, pemahaman dan komitmen yang sama untuk mereformasi manajemen pendidikan belum terbangun. Baik antar pemerintah daerah maupun berbagai unsur di dalamnya masih memiliki pandangan yang berbeda. Misalnya, masih ada pihak yang begog dengan gaya manajemen sentralistik walaupun kebijakan desentralisasi sudah berlaku. Mereka cenderung tidak siap untuk beranjak ke kebijakan baru yang mengharuskan mereka lebih proaktif. Kebijakan sentralisasi telah membuat mereka terlalu nyaman. Mereka tinggal menunggu instruksi dan menerima semuanya dari pemerintah pusat. Dengan kondisi seperti itu, upaya penerapan desentralisasi akan terhambat. Akibatnya, kemajuan pendidikan yang diharapkan akan semakin jauh.
Ketiga, desentralisasi pendidikan mendorong budaya birokrasi dan pemerintahan yang tidak sehat. Seharusnya dengan desentralisasi, birokrasi menjadi lebih efisien. Tapi sebaliknya, wewenang yang luas yang diberikan kepada pemerintah daerah telah melahirkan ‘raja-raja kecil’di daerahnya. Kekuasaan mereka yang besar seringkali disalahgunakan. Mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya ketika membuat sebuah kebijakan. Mulai dari pengangkatan PNS, penentuan pejabat struktural, penyaluran dana, penerimaan siswa baru, dan masih banyak lagi. Praktik korupsi pun semakin banyak terjadi dan merajalela. Perilaku ini telah menodai tujuan mulia desentralisasi pendidikan itu sendiri.        
Keempat, koordinasi di lingkungan pemerintah daerah masih lemah. Hal ini disebabkan adanya ketidakjelasan cakupan wewenang antara propinsi, daerah, dan sekolah. Kerap kali terjadi tumpang tindih kewenangan. Bahkan, perselisihan pun kadang tak terelakkan. Padahal koordinasi yang baik merupakan salah satu kunci keberhasilan desentralisasi pendidikan.
Kaji ulang kebijakan desentralisasi pendidikan mutlak perlu dilakukan. Paling tidak harus dilihat dari keempat sisi berikut, yaitu kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan tantangannya (threat). Hasilnya bisa menjadi acuan apakah desentralisasi pendidikan perlu dilanjutkan atau tidak.