Senin, 06 Februari 2012

Menilik Problematika Guru Indonesia

Tahun telah berganti, penuh suka cita dan optimisme menghadapi tahun baru berharap kondisi negeri ini bisa lebih baik dari tahun sebelumnya termasuk dalam hal pendidikan. Sayangnya akhir tahun ini ditutup dengan kabar kurang menyenangkan dengan dirilisnya hasil survei Indeks Pembangunan Manusia (IPM) oleh UNDP di tahun 2011 yang menempatkan Indonesia di posisi 124 dari 187 negara di dunia, masih jauh di bawah negara-negara tetangga. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas pendidikan Indonesia, sebagai salah satu parameternya, masih rendah. Pergantian tahun harus menjadi momentum untuk berbenah diri agar berbagai masalah pendidikan yang terjadi di tahun sebelumnya dapat diperbaiki dan tidak terulang kembali. Benang kusut yang sulit terurai mungkin menjadi gambaran yang tepat untuk menunjukkan kompleksitas permasalahan pendidikan di Indonesia. Dari tingkat pusat sampai tingkat daerah permasalahan kerap terjadi. 

Permasalahan guru merupakan salah satu dari sekian banyak masalah pendidikan yang harus mendapatkan perhatian besar. Guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Terkait hal ini, WF Connell (1972) menjelaskan peran seorang guru yaitu sebagai (1) pendidik, (2) model, (3) pengajar, dan (4) pembimbing. Oleh karena itu, tidak heran jika guru menjadi faktor penentu keberhasilan siswa. Bahkan pemerintah melalui UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mensejajarkan guru dengan bidang profesional lainnya seperti dokter, pengacara, dan akuntan yang diharuskan memiliki sertifikat profesi. Untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru, pemerintah pun menggulirkan program sertifikasi dan Pendidikan Profesi Guru (PPG).

Upaya tersebut ternyata tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan seputar guru. Paling tidak masalah-masalah itu meliputi; kualifikasi dan kompetensi guru, etos kerja, pemerataan distribusi guru, kesejahteraan, dan pengembangan diri. Pertama, kualifikasi dan kompetensi guru masih rendah. Berdasarkan UU, guru harus memiliki kualifikasi minimal D4/S1 dan memiliki kompetensi profesional (keilmuan), kepribadian, pedagogik (pendidik), dan sosial. Akan tetapi berdasarkan data dari Kemendikbud, hampir 50 persen (1, 8 juta) guru belum bergelar sarjana. Selain itu, banyak guru mengajar mata pelajaran yang tidak relevan dengan latar belakang pendidikannya. Terlebih setelah diberlakukannya kebijakan sertifikasi yang mengharuskan guru untuk mengajar sebanyak 24 jam perminggu. Guru akan mengajar apa saja untuk memenuhinya. Maka tidak heran jika ada guru bahasa Indonesia mengajar bahasa Inggris, guru geografi mengajar sejarah, bahkan guru olah raga mengajar agama. Sederetan kasus guru yang melakukan kekerasan, tindak asusila, menipu dan tindakan tidak terpuji lainnya menambah catatan buruk yang membuat guru makin jauh dari kata profesional. 

Kedua, etos kerja guru masih jauh dari harapan. Mitchel,T.R dan Larson (1987:343)menjelaskan bahwa indikator-indikator atau ukuran-ukuran kinerja guru meliputi : (1) kemampuan, (2) prakarsa/inisiatif, (3) ketepatan waktu, (4) kualitas hasil kerja, dan (5) komunikasi. Sayangnya masih banyak guru yang tidak tepat waktu, mengajar seenaknya tanpa persiapan, tidak objektif dalam penilaian, dan tidak berusaha untuk memperbaharui pengetahuan dan pengajarannya. Tentu saja hal ini akan berimplikasi pada rendahnya pencapaian siswa. 

Ketiga, penempatan guru tidak merata. Rasio guru dan siswa secara nasional di jenjang TK hingga SMA/SMK saat ini masih ideal, yakni 1:15-23, sedangkan rasio maksimal 1:15-32. Di atas kertas seharusnya tidak ada kekurangan guru. Tapi kenyatannya, di pedesaan dan daerah terpencil jumlah guru masih sangat kurang, sebaliknya di perkotaan terjadi kelebihan guru. 

Keempat, rendahnya kesejahteraan guru. Dengan adanya program sertifikasi, guru diharapkan dapat sejahtera. Sayangnya program ini baru bisa dinikmati sejumlah kecil guru saja. Sebagian besar dari mereka masih tergolong kekurangan, apalagi yang statusnya guru honorer. Gaji mereka yang berkisar Rp 50.000-Rp 500.000 masih jauh dari layak untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk menambah penghasilan, banyak guru yang berprofesi ganda. 

Kelima, pengembangan diri yang masih minim. Seiring waktu berjalan, ilmu pengetahuan dan pendidikan pun terus berkembang. Guru seharusnya terus meng-update keilmuannya dan pengajarannya agar tidak tertinggal. Mustahil untuk bisa menghasilkan siswa yang berkualitas dan mampu menjawab tantangan zaman jika tidak dimulai dari gurunya. Lagi-lagi kenyataan berbicara lain. Guru kesulitan mendapatkan akses untuk mengembangkan diri karena selain fasilitas yang masih minim atau bahkan tidak ada, mereka pun terkandala masalah finansial. Jangankan untuk membeli buku atau mengikuti seminar dan pelatihan, untuk makan pun masih sulit. 

Perlu solusi yang tepat dan komprehensif untuk menyelesaikan permasalahan itu. Pihak legislatif, eksekutif (pemerintah), dan guru harus bekerjasama secara sinergis. Produk kebijakan yang dihasilkan legislatif dan program yang digulirkan pemerintah harus benar-benar berpihak dan berorientasi pada peningkatan kualitas guru, bukan sekedar jadi komoditas politik dan hanya menguntungkan pihak tertentu. Guru pun harus banyak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program. Jika semua hal tersebut dapat dilakukan, bukan tidak mungkin guru makin profesional dan kualitasnya jauh lebih baik dari tahun sebelumnya. 
(Dimuat di Koran Pikiran Rakyat (PR), 5 Januari 2011 dengan judul 'Menilik Permasalahan Guru di Indonesia')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar