Dengan lahirnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
sebagai pengganti UU nomor 22 tahun 1999
telah menandai era baru pendidikan di Indonesia. Kebijakan tersebut mengubah
manajemen pendidikan dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Dengan perubahan
ini, pemerintah daerah memiliki wewenang yang luas untuk mengembangkan
pendidikan di wilayahnya. Kebijakan ini bertujuan agar masyarakat mendapatkan
layanan pendidikan yang lebih baik.
Desentralisasi pendidikan telah membawa angin segar dan harapan
bagi masyarakat. Banyak yang berkeyakinan desentralisasi pendidikan akan
berdampak pada kemajuan pendidikan. Dampak positif yang dapat diperoleh dari
desentralisasi pendidikan antara lain efisiensi biaya, efisiensi birokrasi,
pemerataan pendidikan, dan peningkatan partisipasi masyarakat. Hal ini menjadi
alasan mengapa pemerintah menerapkan desentralisasi pendidikan.
Namun, kenyataannya penerapan desentralisasi pendidikan justru menimbulkan
berbagai masalah. Paling tidak ada empat masalah yang paling mendasar yaitu terkait
peraturan, persepsi, birokrasi, dan koordinasi (Rasyo, 2005).
Pertama, berbagai peraturan mengenai desentralisasi pendidikan
masih belum baik. Masih banyak hal yang belum tercakup dalam aturan-aturan
tersebut. Salah satunya terkait dengan partisipasi masyarakat dalam
pendidikan. Ketidakjelasan regulasi yang
mengatur hal ini menjadi celah. Banyak oknum yang memanfaatkannya untuk
melakukan privatisasi pendidikan. Tentu saja tujuannya untuk meraup keuntungan
sebesar-besarnya. Konsep partisipasi masyarakat dipahami serampangan. Bagi
mereka, biaya penyelenggaraan pendidikan menjadi beban masyarakat. Jika peraturannya saja seperti ini, sudah
dapat dipastikan pelaksanaan desentralisasi pendidikan tidak akan berhasil.
Kedua, pemahaman dan komitmen yang sama untuk mereformasi
manajemen pendidikan belum terbangun. Baik antar pemerintah daerah maupun
berbagai unsur di dalamnya masih memiliki pandangan yang berbeda. Misalnya,
masih ada pihak yang begog dengan gaya manajemen sentralistik walaupun
kebijakan desentralisasi sudah berlaku. Mereka cenderung tidak siap untuk
beranjak ke kebijakan baru yang mengharuskan mereka lebih proaktif. Kebijakan
sentralisasi telah membuat mereka terlalu nyaman. Mereka tinggal menunggu
instruksi dan menerima semuanya dari pemerintah pusat. Dengan kondisi seperti
itu, upaya penerapan desentralisasi akan terhambat. Akibatnya, kemajuan
pendidikan yang diharapkan akan semakin jauh.
Ketiga, desentralisasi pendidikan mendorong budaya birokrasi dan
pemerintahan yang tidak sehat. Seharusnya dengan desentralisasi, birokrasi
menjadi lebih efisien. Tapi sebaliknya, wewenang yang luas yang diberikan
kepada pemerintah daerah telah melahirkan ‘raja-raja kecil’di daerahnya.
Kekuasaan mereka yang besar seringkali disalahgunakan. Mereka lebih
mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya ketika membuat sebuah
kebijakan. Mulai dari pengangkatan PNS, penentuan pejabat struktural,
penyaluran dana, penerimaan siswa baru, dan masih banyak lagi. Praktik korupsi
pun semakin banyak terjadi dan merajalela. Perilaku ini telah menodai tujuan
mulia desentralisasi pendidikan itu sendiri.
Keempat, koordinasi di lingkungan pemerintah daerah masih lemah.
Hal ini disebabkan adanya ketidakjelasan cakupan wewenang antara propinsi,
daerah, dan sekolah. Kerap kali terjadi tumpang tindih kewenangan. Bahkan,
perselisihan pun kadang tak terelakkan. Padahal koordinasi yang baik merupakan
salah satu kunci keberhasilan desentralisasi pendidikan.
Kaji ulang kebijakan desentralisasi pendidikan mutlak perlu
dilakukan. Paling tidak harus dilihat dari keempat sisi berikut, yaitu kekuatan
(strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity),
dan tantangannya (threat). Hasilnya bisa menjadi acuan apakah
desentralisasi pendidikan perlu dilanjutkan atau tidak.